Pak Kustoro: Abdi Pertiwi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Pak Kustoro: Abdi Pertiwi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
#MaganiMen bersama Pak Kustoro, seorang pengajar yang telah mengabdi selama 23 tahun hidupnya untuk memperjuangkan pendidikan di pedalaman Kalimantan. Simak cerita beliau, sang pahlawan tanpa tanda jasa. Oemar Bakrie masa kini yang menebar manfaat dengan mengabdi untuk masa depan generasi bangsa.
---

 

Siapa itu Pak Kustoro?

Perkenalkan saya Kustoro, atau yang biasa akrab dipanggil Pak Kus oleh rekan kerja dan murid-murid di sekolah. Saya adalah seorang pengajar di SMP Negeri 1 Nanga Pinoh Kalimantan Barat. Walaupun terpisah jauh dari kampung halaman ke pedalaman Kalimantan, saya sangat menghargai pekerjaan yang saya anggap mulia ini. Dibuktikan dalam 23 tahun hidup saya yang didekasikan untuk mencerdaskan generasi bangsa walaupun dengan banyak kekurangan dan keterbatasan.


Sepak terjang saya di dunia pendidikan berawal pada tahun 1999 ketika saya berhasil lolos CPNS dan ditempatkan di pedalaman Kalimantan. Awalnya merasa sangat terkejut, namun di sisi lain saya juga merasa sangat tertantang untuk dapat menginjakkan kaki di daerah yang bahkan baru saya ketahui namanya pada saat itu. Berbekal pengetahuan dan kecintaan saya terhadap studi Geografi, saya memulai perjalanan sebagai guru IPS di SMP. Selayaknya sebuah jenjang, yang awalnya merupakan pengajar biasa kemudian saya pernah diberi kesempatan menjadi Wakil Kepala Sekolah dan juga Kepala Sekolah di Kabupaten Melawi.


Sebenarnya, tidak pernah terpikir sedikitpun untuk menginjakkan kaki di Tanah Kalimantan dan memulai hidup panjang disini. Namun, saya bangga dengan pekerjaan saya, dan merasa sangat terhormat bisa dipilih untuk menjalankan amanah sebagai pendidik.



Sering di-bully karena fisik

Saya berasal dari sebuah kampung di tepi sungai Gudug yang dialiri air dari Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Pada awal masa sekolah, saya sendiri merupakan pribadi yang cenderung pendiam dan tidak banyak berbicara. Hal ini disebabkan oleh lingkungan sekolah dimana teman-teman sering mengejek fisik saya. Kebetulan memang saya memiliki badan yang kecil untuk anak seumuran saya waktu itu. Maka dari itu, saya menjadi seorang pribadi yang lumayan tertutup saat di sekolah. Meskipun begitu, saya terkenal karena cukup piawai dalam hal belajar, bisa dikatakan sebagai salah satu murid berprestasi. “Si kecil cabe rawit”, kata mereka. Di balik kekurangan saya, saya bersyukur karena memiliki keunggulan dan sering diandalkan dalam hal akademik. Pengalaman di-bully jujur tidak membuat saya berkecil hati. Walaupun sedih, tapi selalu saya jadikan motivasi untuk menjadi lebih baik lagi dan mengukir prestasi. Mungkin pengalaman ini juga yang mendorong semangat saya untuk mengaktualisasikan diri di bidang akademik, ya seperti pembuktian diri lah ke teman-teman. Kalo tidak di-bully saya mungkin tidak bisa secakap itu dulu. Saya percaya selalu ada hikmah dalam sebuah peristiwa.



 

Tidak Menyerah Dalam Keterbatasan

Kilas balik ke masa kuliah saya, sebenarnya saya adalah Mahasiswa ‘Ronin’ atau yang menunda waktu masuk perguruan tinggi. Penyebab utama saya tidak melanjutkan kuliah dalam 2 tahun setelah saya lulus SMA ialah karena keterbatasan ekonomi. Menjadi anak ke-3 dari 7 bersaudara bukan hal yang mudah untuk mengenyam pendidikan tinggi, kami harus bergantian, karena cukup mustahil bila semuanya bisa langsung kuliah. Namun, tentu saja saya tidak menyerah dalam keterbatasan itu. Selama dua tahun tersebut, saya mengisi hari-hari dengan kegiatan yang bermanfaat sembari belajar untuk persiapan kuliah. Saya mengikuti banyak kegiatan sosial dan aktif di karang taruna daerah setempat demi mengisi waktu saya dengan hal yang saya anggap baik. Saat saya diterima di salah satu Universitas Negeri bergengsi di Indonesia, terbukti hal ini sangat bermanfaat dimana saya bisa mengaktualisasikan diri dengan aktif dalam komunitas dan organisasi nya. 


 

Makna Seorang ‘Guru’ 

Bagi saya, guru adalah seseorang yang dipercaya dan diteladani. Karena sekolah merupakan rumah kedua bagi seorang anak, maka sudah merupakan tugas guru untuk membimbing seorang individu agar layak dalam bermasyarakat. Tidak hanya akademik yang dipelajari, namun juga moral dan tingkah laku yang dimaknai ‘baik’ secara sosial. Tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang guru itu hampir setara dengan tanggung jawab orang tua. Maka dari itu, guru harus menjadi seseorang yang dapat dipercaya dan diteladani. Hal ini jugalah yang merupakan tantangan sekaligus berkah untuk seorang guru, dimana ia bisa menjawab ekspektasi masyarakat akan pendidikan.



Capaian atau Mimpi Tertinggi Sebagai Guru

Mimpi saya sedari dulu itu tidak pernah muluk-muluk, saya hanya ingin dimanapun saya berada disitu pulalah saya bisa memberikan manfaat kepada sekitar. Puji syukur pada Tuhan, karena selama ini saya masih bisa berkontribusi untuk lingkungan sekitar saya dan saya harap akan terus berlanjut hingga akhir hayat ini. Tidak hanya dalam hal mengajar siswa-siswi, namun juga dalam lingkungan sekolah secara holistik. Untuk pencapaian terbesar saya sebenarnya ialah menciptakan orang-orang hebat dari lingkungan kecil seperti sekolah. Di sisi lain, saya juga amat senang dengan menjadi seorang guru, saya bisa mengenal banyak orang setiap tahunnya dan menjalin relasi ke seluruh Indonesia melalui pelatihan. 




Hambatan dalam profesi sebagai Guru

Hambatan atau tantangan paling sulit yang saya rasakan secara pribadi itu ialah saat menguasai kelas, dalam arti mengkondisikan kelas agar kondusif untuk menerima pelajaran. Karena seperti yang kita ketahui, motivasi dan semangat siswa itu berbeda-beda. Akan sangat sukar apabila ada siswa yang memiliki motivasi rendah untuk belajar. Maka dari itu, seorang guru bukan hanya harus inovatif, namun juga dituntut untuk memancing minat belajar siswa. Keberhasilan jangka pendek yang paling nyata adalah ketika siswa semangat untuk belajar. Sampai saat ini juga saya sendiri masih berusaha untuk menerapkan pembelajaran yang menyenangkan bagi para siswa.

Harapan Kedepannya

Berangkat dari hambatan yang telah saya paparkan, harapan saya kedepannya untuk para guru ialah pendidik bisa lebih berinovasi, kreatif dan tak bosan untuk meningkatkan kompetensi nya. Dilibatkan itu senang dan berbagi itu menyenangkan. Pengajar harus menjadi penggerak inisiatif untuk kemaslahatan siswa di sekolah. Jadilah guru yang melibatkan siswa dalam setiap pembelajaran. Ini era nya pembelajaran dua arah, bukan satu arah seperti dulu lagi toh? Selain itu, pengajar juga harus membangun kedekatan emosional dengan siswa-siswi nya agar tercipta rasa saling mengerti dan menghargai antar kedua belah pihak untuk mencapai tujuan bersama.


Harapan saya untuk siswa dan generasi lanjut ialah semoga siswa bisa memupuk rasa keingintahuan sedari dini. Pembelajaran abad 21 jauh lebih progresif dan dinamis, sehingga apabila tidak melihat perkembangan sebentar saja maka akan tertinggal jauh. Saya rasa sekarang kompetensi yang dibutuhkan ialah mereka dengan kemampuan mendalam, bukan yang generalis. Semoga next gen Indonesia bisa berperan lebih aktif untuk memajukan baik itu diri sendiri, maupun bangsa dan negara.



Previous post Next post